Foto : Erwin

Jakarta, Media Indonesia Raya – Pertamina terancam menderita kerugian puluhan juta dolar AS. Tak hanya itu, kontrak pengadaan 3 kapal tanker pesanan Pertamina kepada PT Multi Ocean Shipyard (MOS) pun kemungkinan besar tak akan terpenuhi. Gara-garanya, PT MOS yang sedang terikat kontrak dengan Pertamina digugat pailit oleh dua perusahaan lain akibat gagal memenuhi kewajibannya.

PT MOS dimohonkan kepailitannya melalui Pengadilan Negeri Medan oleh dua perusahaan yakni Excellift Sdn.Bhd. asal Malaysia dan PT Kawasan Dinamika Harmonitama. “Kami telah mengumumkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara termohon dan mengundang rapat para kreditor,” demikian jelas Tarida Sondan P Siagian, SH, dalam pengumumannya yang dipasang melalui sebuah surat kabar yang terbit di Medan tertanggal 12 September 2018 lalu.

Padahal, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati yang telah dilantik oleh Menteri BUMN beberapa pekan lalu, mendapat tanggung jawab berat dari Presiden Jokowi.

“Pertamina harus berbenah mereformasi diri, termasuk menghapus proses bisnis yang menimbulkan inefisiensi,” demikian ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan harapan Presiden.

Potensi Kerugian
Proses bisnis yang sekarang berpotensi merugikan Pertamina salah satunya memang berasal dari kontrak pengadaan 3 kapal tanker minyak olahan yang ditandatangani antara Pertamina dengan PT Multi Ocean Shipyard (MOS) di atas.

Dalam kontrak tersebut, potensi kerugian negara yang timbul akibat kegagalan PT MOS memenuhi kontrak perancangan, pembangunan, peluncuran, pelengkapan, dan pengujian sampai dengan penyerahan 3 unit kapal tanker tersebut diperkirakan mencapai sekitar 69 juta US$, belum termasuk penalti.

Kontrak antara PT MOS dengan PT Pertamina pada tahap pertama tertanggal 7 Juni 2013 menyebutkan bahwa perusahaan tersebut harus menyerahkan kapal tanker berukuran 17.500 LTDW dalam waktu 24 bulan atau 2 tahun sejak kontrak ditandatangani. Dalam kenyataannya, kapal tersebut baru selesai pada 30 Juni 2018, atau molor tiga tahun.

Sementara kontrak penyediaan dua kapal lainnya yang ditandatangani pada 7 Mei 2014 sampai hari ini belum dapat direalisasikan atau tidak dipenuhi oleh PT MOS. Sampai dengan 30 Juni 2018, kapal tersebut masing-masing baru selesai 76,75% dan 70,85% dalam proses pembuatannya, meskipun tenggat penyelesaiannya sudah molor hampir tiga tahun.

Untuk membiayai pembuatan dan perancangan kapal tersebut, PT MOS mendapatkan kredit nontunai Non-Cash Loan-4 (NLC-4) dari Bank Mandiri melalui perjanjian pada tanggal 18 Januari 2016. Fasilitas yang diberikan adalah berupa Bank Garansi (BG) dan Letter of Credit (L/C) atau Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) dengan batas maksimal 30 juta US$.

Perjanjian tersebut dalam perjalanannya mengalami beberapa kali berubahan dalam besarannya. Sampai dengan 31 Desember 2017, saldo BG dan L/C yang belum digunakan masing-masing adalah sebesar 6,32 juta US$ dan 24,24 juta US$.

Meskipun BG dan L/C dari Bank Mandiri sebagian sudah dicairkan oleh PT MOS, namun dua kapal terakhir yang menjadi kewajiban PT MOS kepada Pertamina belum juga dapat dipenuhi.

Beberapa persoalan yang menyebabkan kapal tanker PT MOS tidak dapat dipenuhi antara lain adalah perusahaan galangan kapal yang ditunjuk PT MOS untuk mengerjakannya yakni PT Daya Radar Utama adalah perusahaan tersebut tidak memiliki pengalaman dalam membangun kapal berbobot sampai dengan GP 17.500 LTDW. Selain itu, terjadi beberapa kali perubahan gambar desain kapal yang memakan waktu lama.

Ketiga kapal pesanan Pertamina yang diberi nama MT Panderman, MT Papandayan, dan MT Pengalengan pada akhirnya diserahkan terlambat dari kontrak yang disepakati antara PT MOS dan Pertamina. Keterlambatan penyerahan kapal tersebut pun juga belum dikenakan sanksi pembayaran, padahal Pertamina sudah dirugikan akibat masalah tersebut. Padahal, ada klausul yang menyatakan bahwa keterlambatan setiap hari atas jadwal yang sudah disepakati akan dikenai sanksi sebesar 10.118 US$ per hari. Jika dihitung dari hari keterlambatan penyerahan kapal, sanksi yang harus dibayarkan kepada Pertamina oleh PT MOS, nilainya mencapai jutaan dolar AS.

Sebagai contoh, penyerahan kapal tanker MT Papandayan yang seharusnya dilakukan pada 12 Mei 2016, sampai dengan 6 September 2017 ketika dilakukan pemeriksaan fisik, kapal belum selesai, sehingga seharusnya mendapatkan pembayaran atas sanksi keterlambatan senilai kurang lebih 1,1 juta US$. Sampai sekarang, tagihan atas sanksi tersebut belum dilakukan.

Perjanjian antara PT MOS dengan Pertamina tersebut hanyalah salah satu dari tanggungan Pertamina untuk mengurangi beban-beban ketidakefisienan yang berada di pundak Dirut barunya. Apabila Pertamina dapat menyelesaikan satu per satu masalah seperti ini, tanggung jawab dan perintah Presiden Jokowi untuk mereformasi dan membenahi Pertamina dapat dipenuhi.(Erwin)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!