Foto : Erwin

Jakarta, Media Indonesia Raya – Orde Baru adalah sebutan untuk masa pemerintahan presiden Soeharto di Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Masa orde baru (ORBA) dimulai sejak tahun 1966 menggantikan orde lama yang merujuk pada era pemerintahan presiden Soekarno.

Orde baru memiliki beberapa kelebihan yaitu pembangunan berjalan optimal lewat Repelita, berhasil melakukan Program Keluarga Berencana yang pada masa sebelumnya tidak dilakukan,
semakin banyak rakyat yang pintar membaca dan menulis, sehingga tingkat pengangguran berkurang, kebutuhan pangan rakyat terpenuhi, dan kestabilan keamanan negara semakin meningkat.

Namun disamping itu orde baru juga memiliki kekurangan dan kelemahan.
Untuk membedah itu Institute For Indonesia Local Policy Studies (ILPOS) menggelar diskusi publik bertema ‘Generasi Milenial Bicara Orde Baru’ di Bumbu Desa Resto, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019).

Diskusi yang dihadiri beberapa lembaga itu di antaranya adalah Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PP IMM), Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PP GMNI), Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP-PMKRI), Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (PP KAMMI), Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI), Presidium Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (PP HIKMAHBUDHI), Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) serta Pengurus Pusat Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (PP EN LMND).

Alfi Hafidh Israqro Ketua Bidang Akreditasi Nasional Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), mengatakan awal muncul nya orde baru sangat kontreversial lewat gejolak politik pada tahun 1965 yaitu munculnya G30S/PKI.

“Namun sampai saat ini polemik G30S-PKI menjadi titik awal munculnya orde baru dan menjadi ujung kekuasaan Bung Karno. Saat itu banyak sekali korban masyarakat yang dibantai mungkin ribuan sampai puluhan ribu karena dicap atau distempel komunis oleh rezim Soeharto lewat Supersemar. Supersemar dijadikan Soeharto sebagai alat legitimasi untuk menegakkan kekuasaannya,” katanya.

Selain berbagai kelebihannya, Orde baru juga memiliki banyak kelemahan.

“Meningkatnya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada semua kalangan masyarakat, pembangunan negara tidak merata, dan terdapat perbedaan yang signifikan antara pembangunan pada pusat dan di daerah, kekayaan daerah banyak digunakan untuk melakukan pembangunan pada pusat kota, kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel. Kemudian masuknya investasi asing lewat campur tangan Soemitro Joyohadikusumo, ayahanda dari salah satu capres, manipulasi demokrasi, Pancasila sebagai azas tunggal yang harus ditaati berbagai organisasi saat itu. Ormas tidak boleh menggunakan azas yang berbeda selain Pancasila,” bebernya.

Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), R. Saddam Al-Jihad mengatakan bahwa saat ini kita tidak hanya bicara masa lalu termasuk orde baru.

“Kita sekarang ini sudah harus fokus kepada revolusi digital lewat masyarakat 5.0 ditandai dengan pembangunan infrastruktur dan teknologi secara massive. Sedangkan masyarakat 2.0 dan 3.0 yang lahir pada zaman orde baru yang fokus kepada swasembada pangan. Namun kebebasan berbicara dan berkumpul pada saat sekarang jelas berbeda dengan orde baru. Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat termasuk menulis buku pada zaman orde baru. Jadi dengan lahirnya orde reformasi menjadi anti tesis terhadap orde-orde sebelumnya,” ujar R. Saddam Al-Jihad.

Irfan Ahmad Fauzi yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) mengatakan saat ini masyarakat harus mengawal yang terkait dengan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat.

“Setiap zaman punya ciri khas nya masing-masing. Termasuk orde baru punya plus minus, punya kelebihan dan kekurangan. Jadi yang perlu kita kawal adalah kebebasan paska orde baru. Kebebasan itu harus kita pastikan merupakan bentuk spirit terhadap perlawanan terhadap orde baru yang ditandai munculnya orde reformasi,” kata Irfan.

Menurutnya generasi milenial harus mampu melihat dengan tumbangnya orde baru menjadi spirit untuk menciptakan sistem yang demokratis.

“Jadi kita sebagai generasi milenial harus bisa memastikan yang namanya kebebasan dan keterbukaan yang tidak kita peroleh di zaman orde baru. Kita juga jangan berdiam diri saja terpaku terhadap masa lalu yang menjadi anti tesis tapi aktif menciptakan ruang publik yang demokratis dan terbuka buat siapapun,” tutur Irfan

I Gede Hendra Juliana Ketua Departmen Kaderisasi Pengurus Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI), mengatakan generasi milenial terlihat gamang menghadapi situasi saat ini paska tumbangnya orde baru.

“Sebagai generasi milenial saya merindukan romantisme perjuangan senior di masa lalu. Namun hari ini kita bingung karena musuh kita itu bernama proxy war. Jadi kebebasan dari tumbangnya orde baru mari kita perjuangkan bersama,” kata Hendra.

Hendra menyebut digitalisasi menjadi polemik baru termasuk praktek minus dari orde baru.

“Jika kita tidak pintar-pintar memfilter maka kita akan dijajah oleh teknologi itu sendiri. Orde baru sudah runtuh tapi praktek-prakteknya masih ditemui sampai saat ini,” katanya.

Indrayani Abd. Razak selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (PP EN LMND) menyebut orde baru merupakan pengusung kapitalisasi dan liberalisme.

“Kita sekarang sudah masuk era reformasi namun praktek liberalisme masih menguat lewat maraknya investasi asing. Sedangkan tujuan reformasi itu harus sesuai dengan cita-cita kerakyatan kita,” kata Indrayani.(Win) 

By admin

One thought on “ILPOS Gelar Diskusi Publik Generasi Milenial Bicara Orde Baru”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!