Spread the love

Foto: Istimewa

Jakarta, Media Indonesia Raya – Isu soal analisis dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tambang PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang diproses sejak 2020 lalu kembali mengemuka.

Pasalnya, beberapa waktu belakangan ini sejumlah kalangan angkat bicara menyoal hal itu.

Kali ini datang dari Ketua Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) Tsingwarop, Yafet Manga (Beanal) yang menganggap pihaknya tidak dilibatkan dalam pembahasan dan penyusunan analisis dampak lingkungan (Amdal) PT. Freeport Indonesia.

“Kami sangat keberatan atas proses pengurusan AMDAL PT Freeport Indonesia, yang sejak awal tidak melibatkan kami selaku pemilik hak ulayat dan selaku representative resmi dari masyarakat adat yang tinggal di areal tambang PT Freeport Indonesia,” katanya melalui rilis yang diterima Mediaindonesiaraya.id, Rabu (2/11/2022).

Yafet Manga juga mengaku bahwa FPHS Tsingwarop selaku masyarakat adat pemilik hak ulayat, serta selaku masyarakat yang tinggal di areal PT Freeport Indonesia, tidak pernah menerima dokumen Adendum ANDAL RKL-RPL PT Freeport Indonesia, maupun menerima sosialisasi-sosialisasi pengurusan AMDAL PT Freeport Indonesia. Yafet menganggap pembuatan AMDAL PT Freeport Indonesia pada dasarnya telah cacat secara prosedural karena sejak awal pengurusan dan penyusunannya tidak melibatkan masyarakat.

“Padahal ada dasar hukumnya yakni pasal 27 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelengaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PP 22/2021”) penyusunan Amdal dilakukan melalui tahapan pelaksanaan pelibatan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Selain itu, dalam Pasal 28 PP 22/2021, telah diatur juga bahwa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan harus melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung, yang dilakukan melalui pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan dan adanya konsultasi publik,” jelasnya.

Padahal sebut Yafet, FPHS Tsingwarop selaku masyarakat adat pemilik hak ulayat dan masyarakat adat yang mendiami dan tinggal di areal tambang PT Freeport Indonesia, telah terkena dampak negatif secara langsung atas berlangsungnya penambangan di areal PT Freeport Indonesia.

“Beberapa diantaranya seperti rusak dan hilangnya sebagian hutan adat dan tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat pemilik hak ulayat. Kemudian tercemarnya sebagian sungai-sungai di wilayah kami, kampung Tsinga Waa/Banti, Aroanop, akibat limbah tailing milik PT Freeport Indonesia yang dibuang langsung ke sungai. Hilangnya sumber air bersih bagi masyarakat,” tuturnya.

“Selain itu timbul penyakit kulit akibat adanya limbah-limbah tailing milik PT Freeport Indonesia yang dibuang secara langsung dan menimbulkan dampak kesehatan yang negatif bagi masyarakat. Hilangnya tempat sumber pencaharian, dan tempat tanah lokasi karena diduduki oleh Perusahaan tanpa sepengetahuan kami, serta kesepakatan jelas. Adanya berbagai propaganda yang terus dilakukan oleh perusahaan lewat Militer, sehingga rumah-rumah pemukiman kami dibakar dan kami diusir akhirnya sebagian besar warga mengungsi di Timika, dan hidup di kos-kosan dan rumah yang tak layak huni, untuk masalah ini kami sudah laporkan ke Komnas HAM RI,” imbuh Yafet menambahkan.

Selain itu, Yafet mengatakan sejak adanya Kontrak Karya PT Freeport Indonesia pertama kali, yakni pada tahun 1967, yakni kurang lebih selama 55 (lima puluh lima) tahun, FPHS Tsingwarop selaku pemilik hak ulayat dan masyarakat yang terkena dampak langsung atas keberadaan PT Freeport di areal tanah ulayat, tidak pernah menerima kompensasi berupa keuntungan dengan adanya pertambangan PT Freeport Indonesia.

“Kami, selaku pemilik hak ulayat, dengan ini tegas meminta kepada PT Freeport Indonesia, untuk melakukan bisnis dengan mengedepankan hak bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat dan masyarakat yang terkena dampak langsung atas kegiatan penambangan. Bahwa oleh karena itu, untuk mencegah terulanginya kembali kerugian-kerugian yang dialami oleh masyarakat adat pemilik hak ulayat serta masyarakat yang terkena dampak langsung akibat kegiatan penambangan PT Freeport Indonesia, maka kami mendesak dan menuntut kepada KLHK untuk benar-benar meninjau ulang dokumen-dokumen ANDAL RKL-RPL PT Freeport Indonesia dan melibatkan kami selaku masyarakat adat pemilik hak ulayat sekaligus masyarakat yang terdampak langsung kegiatan penambangan PT Freeport Indonesia,” pungkasnya.(Win/Red)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!