Foto: Istimewa

Jakarta, Media Indonesia Raya – Sejumlah elemen masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) menggelar aksi damai di depan Kantor Komnas HAM Jl. Laturharhary No. 4B, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2023). Kedatangan FKMTI untuk mengadukan adanya sejumlah kasus dugaan kriminalisasi terhadap anggotanya yang sebenarnya adalah pemilik sah tanah.

Namun tanah mereka menjadi incaran mafia tanah karena lokasi yang strategis dan bernilai jual tinggi.

Upaya hukum korban yang telah dilakukan korban biasanya tak digubris pihak instansi terkait dan dapat dengan mudah dikalahkan oleh pihak yang mengincar tanah korban.

Sebagai contoh kriminalisasi terhadap Ketua FKMTI dan istrinya. Mereka membeli dari para pemilik girik dengan total luas 1 ha lebih di Cengkareng, Jakarta Barat Pada tahun 2006. Semua dokumen kepemilikan tanah girik-girik tersebut sudah sah berdasarkan surat-surat yang dikeluarkan baik oleh pihak kelurahan maupun pihak kecamatan setempat dan instansi terkait lainnya.

Sebagai contoh, girik no 1906 milik AH Subrata yang dibeli SK Budiardjo jelas tercatat di kelurahan, dan AJB nya tercatat di Kecamatan Cengkareng. Bahkan, Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada 17 Juli tahun 2007 telah memutuskan untuk mengeluarkan tanah Girik milik AH Subrata seluas 2231 m2 dari SHGB PT BMJ dengan amar putusan No.442/PDT.G/2006/PN.JKT.BRT.

Putusan tersebut sebetulnya sudah inkrah, karena pihak BMJ tidak mengajukan banding. Namun dengan dalih tidak menerima surat putusan pengadilan, pada tahun 2008, PT. BMJ menggugat amar putusan pengadilan sebelumnya yang memenangkan AH Subrata.

Padahal salinan putusan telah dikirim pihak pengadilan telah sesuai yang tercatat di SHGB alamat PT. BMJ di jalan Gajah Mada, bukan di kawasan Palmerah. Dan berdasarkan surat keterangan kelurahan tidak PT. BMJ tidak berdomisili di Palmerah.

Setelah gugatan PT BMJ dikabulkan, AH Subrata pun akan mengajukan banding atas putusan no 372/PDT.G/Jakbar yang merugikannya. Namun dia justru dilaporkan dan langsung ditahan di Polda pada bulan April 2010.

Hal ini kerap terjadi, rakyat biasa bisa dikriminalisasi meski dokumen kepemilikan tanahnya sah tapi bisa direkayasa menjadi tersangka dan diminta supaya berdamai agar tidak menggugat lagi. Sebaliknya jika rakyat biasa yang melaporkan penyerobotan tanah oleh konglomerat, tidak digubris oleh aparat. Sebagai contoh, tanah girik seluas 2,5 ha milik Rusli Wahyudi di BSD, Tangsel Meski putusan pengadilan sudah inkrah bahkan sudah dieksekusi pada tahun 98, tapi tanah tersebut masih dikangkangi oleh pengembang.

Pada tahun 2019, sudah ada putusan MA bahwa tidak ada catatan jual beli atas girik milik Rusli. Bahkan sudah ada perintah Irjen Kemendagri agar melaksanakan putusan pengadilan KIP dan sudahi menerbitkan LHP (laporan hasil pemeriksaan) bahwa memang benar tidak ada catatan jual beli atau pelepasan hak girik c913.Namun hingga kini pihak Kecamatan Serpong belum menjalankan perintah pengadilan untuk membuat pernyataan bahwa tidak ada catatan jual beli girik C913. Rusli Wahyudi pun pernah mengalami kriminalisasi.

Untungnya, saat itu pihak kejaksaan menghentikan penuntutan. Nasib yang sama menimpa Edwin T, Namun hakim menghentikan persidangan dan meminta jaksa mengembalikan SHM miliknya.

Anehnya, sampai kini sertifikat tanah di Bintaro tersebut tidak sampai ke tangannya. Upaya kriminalisasi juga dialami Zubaedah, pemilik tanah SHGB di Jalan Ahmad Yani, Jakarta.

Meski sudah menang di Pengadilan tetapi masih digugat lagi. Beberapa tahun lalu, Zubabedah pernah dikriminalisasi. Dan saat ini juga tengah diperiksa Polda Metro Jaya karena dilaporkan pihak lain yang mengklaim tanah Zubaedah. Padahal tanah tersebut sudah ditempati keluarga Zubaedah sudah lebih dari 50 tahun, SHGB nya pun bisa jaminan di Bank BCA. Sementara alas hak pihak yang mengklaim tanahnya berbeda lokasi.

Masih banyak lagi korban mafia tanah yang mengalami kriminalisasi dan intimidasi. Seharusnya para korban mendapatkan perlindungan dari lembaga negara bukan sebaliknya justru dijadikan tersangka untuk kepentingan mafia tanah.

Apakah karena para korban hanyalah rakyat biasa yang harus mengalah ditindas oleh oligarki?.

Jika kriminalisasi terhadap ini dibiarkan maka sama komplotan mafia telah menginjak-menginjak dasar
negara Pancasila dan UUD 45 dan bisa menguasai tanah di NKRI untuk kepentingan bisnis segelintir orang dan bukan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Berikut ini isi tuntutan dari FKMTI:

1. Membuat pernyatan tegas bahwa Mafia tanah beserta Bekingnya yang merampas hak tanah rakyat dengan berbagai cara termasuk kategori pelanggaran HAM Berat.

2. Melindungi ralyat yang tengah mempertahankan hak atas tanah milik mereka agar tidak jadi sasaran kriminalisasi oleh komplotan mafia dan oknum aparat hukum dengan mendesak pihak kepolisian menerbitkan surat edaran pada jajarannya agar melakukan pemeriksaan terkait kasus pertanahan tidak hanya berdasarkan bukti formil berupa sertifikat tanah tetapi harus diperiksa warkahnya, karena sudah terbukti banyak sertifikat asli bisa terbit tanpa alas hak kepemilikan yang sah seperti beda lokasi tapi bisa terbit sertifikat di atas tanah milik orang lain.

3. Memberikan rekomendasi kepada instansi terkait untuk segera membebaskan rakyat yang sedang dikriminalisasi termasuk Ketua FKMTI SK Budiardjo dan istrinya yang saat ini ditahan pada saat saat proses pra peradilan tengah berlangsung.

4. Mendukung upaya pembentukan pengadilan adhoc Pertanahan untuk penyelesaian konflik pertanahan dengan hakim independen dan dengan melakukan adu data atas hak kepemilikan awal tanah secara terbuka.(Win/Red)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!