Ulasan Ketum Relawan PRAGITA Tentang Film Dirty Vote, Hendra Nababan: Narasinya Penuh Kangkung Genjer

Foto: Istimewa

Jakarta, Media Indonesia Raya – Minggu tenang kampanye Pilpres dan Pileg 2024 kali ini, dikejutkan dengan munculnya sebuah film yang berjudul “Dirty Vote” yang disutradarai oleh Dandy Dwi Laksono di platform X, yang kata orang-orang sedang trending. Tergelitik hati untuk menontonnya, karena bagi banyak orang tidak mengenal sosok Dandy Dwi Laksono, karena sutradara lokal yang saya kenal hanya Joko Anwar, Mira Lesmana, Timo Tjahjanto, Aditya Gumay dan terakhir Rahabi Mandra sutradara film detektif jaga jarak yang tersohor itu. Tidak butuh waktu lama, akhirnya film itu saya dapatkan, dan Dirty Vote movie adalah film dokumenter ringan yang di dalamnya ada beberapa aktor dadakan terdiri dari Zainal Arifin Mochtar (Ahli Hukum Tata Negara jebolan UGM, Feri Amsari (Ahli Hukum Tata Negara) lulusan Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti (Ahli Hukum) alumnus dari Universitas Indonesia. Kita mencoba menonton film yang membosankan ini dengan hidangan kopi hitam gayo, plus rokok Unta biru Mild yang harganya masih promo serta sepiring ubi goreng di sebuah cafe murah di pinggiran kota Medan mencoba melihat seberapa hebatkah film yang konon kabarnya sangat bombastis itu.

Dimulai dari cuplikan potongan video Presiden Jokowi di beberapa waktu lalu, ditimpali musik laksana film horor lalu muncul narasi yang disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar dengan paparannya dengan gaya sok cool mencoba menerangkan tentang hasil survei dari beberapa lembaga survei yang mengunggulkan pasangan Prabowo-Gibran dibandingkan pasangan lain yakni 01 dan 03 dalam hal ini Zainal Arifin Mochtar ingin mematahkan strategi kemenangan sekali putaran dengan membandingkan peta politik pilkada DKI tahun 2017, berbasiskan data lembaga survei SMRC (Saiful Mujani Research Consultant) ketika saat itu pasangan Anis Baswedan-Sandiaga Uno bisa memenangkan Pilkada DKI melalui 2 putaran.

Analisa Zainal dengan membandingkan pilpres 2024 dengan pilkada 2017 menjadi sebuah clue, Zainal mewakili kelompok 4 jari yang anti sekali putaran jelas tendensius. Diduga Zainal mendapat pesanan dari kelompok tertentu untuk menggembosi strategi kemenangan sekali putaran, dan anehnya dia hanya menyerang pasangan Prabowo-Gibran, lucu bin ngakak di film ini Zainal menggunakan lembaga survei SMRC yang saat ini dipimpin oleh Saiful Mujani berkolaborasi dengan Eep Saifulah Fatah yang dahulu adalah seterunya saat Pilkada DKI juga menyerang Presiden Jokowi dengan isu Pemakzulan Presiden yang sangat menyesatkan. Sampai detik ini lembaga SMRC tidak pernah memposting hasil data survey kliennya diberbagai media entah apa sebabnya, mungkin para Jin dan kuntilanak yang tahu apa penyebabnya.

Di sesi berikutnya muncul Feri Amsari yang katanya adalah ahli hukum tata negara yang diyakini kemampuannya belum semumpuni Yusril Ihza Mahendra, mengamini paparan dari Zainal Arifin Mochtar dengan kalimat “Pendapat Doktor Zainal Arifin Mochtar adalah sangat benar” cie cie, dalam hati ini, macam bahasa engkol di daerah Tembung kawan ini, tapi oklah, kita coba melihat analisa Feri Amsari yang ternyata lagi-lagi berlagak laksana konsultan lembaga survei nomor wahid, namun tak pernah berani mendirikan lembaga survei yang kredibel, mungkin grogi kali ya berhadapan dengan nama nama besar seperti Denny JA, Mohammad Qodari, Burhanudin Muhtadi serta Hanta Yuda yang secara rutin menerbitkan hasil survei mereka yang kredibel, dibarengi data dan fakta yang mengatakan bahwa pasangan Prabowo-Gibran telah menembus 51% lebih angka kemenangan yang sangat memungkinkan kemenangan sekali putaran ada di depan mata.

Feri Amsari dengan gayanya mencoba menerangkan strategi pemenangan agar pilpres bisa dilaksanakan melalui 2 putaran dengan bahasa kangkung genjer kangkung genjer yang akrab dikenal anak Medan adalah bahasa membual dan tidak bermateri membuat oyong (pusing) kepala ini, sambil mencoba menyimak gayanya yang tak seberapa, tak terasa rokok sudah habis 4 batang.

Sesi berikutnya muncul Bivitri Susanti memberikan paparan tentang bansos yang dengan gaya keilmuannya dengan berbasis data dari media cetak Tempo dan media elektronik yang sudah pernah muncul juga sebelumnya di tayangan televisi dan Youtube channel, juga dengan bahasa kangkung genjer kangkung genjer berputar-putar.

Bivitri mencoba menganalisa kampanye para menteri di kabinet dan sudah jelas sekali Presiden Jokowi mempersilahkan para menterinya untuk berkampanye sepanjang sudah mengajukan cuti.

Terdapat beberapa cuplikan video kampanye beberapa menteri di kabinet dan kembali lagi Bivitri menyasar anggota kabinet yang mendukung pasangan 02.

Bivitri mencoba menyoroti pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan Presiden boleh berkampanye, yang pada dasarnya pernyataan presiden boleh berkampanye dimuat di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 pasal 299 ayat 1 yang isinya adalah Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.

Dan belakangan Presiden Jokowi mengatakan bahwa beliau tidak akan melaksanakan hak kampanyenya hingga analisa Bivitri dan para tokoh politik yang sempat kelonjotan, takut terkencing-kencing, kalau sempat Presiden Jokowi kampanye maka ambyarlah mimpi seseorang untuk menjadi Presiden.

Sesi berikutnya muncul lagi si Zainal menyoroti kinerja KPU yang menurutnya telah disanksi oleh DKPP melalui asumsi-asumsinya menilai kinerja KPU tidak bekerja profesional juga dibarengi bahasa kangkung genjer kangkung genjer lagi.

Setelah menyaksikan film ini, akhirnya yang timbul adalah penyesalan seumur hidup, film ini ternyata film berisi narasi kangkung genjer kangkung genjer dan cerita wak Labu dari pantai Labu di pesisir daerah Deli Serdang, ketiga tokoh ini mencoba muncul laksana ahli ahli hukum tata negara yang mumpuni ingin menggurui bangsa ini dengan analisa analisa dangkalnya yang berbasis data dari media media cetak dan elektronik yang telah terbit dirangkum menjadi sebuah film dokumenter dengan design grafis laksana besutan CNN dan ditimpali musik horor laksana film Valak. Jelas ini membuatku menyesal seumur hidup, film yang katanya trending ini gak lebih penting daripada bermain PUBG dan Mobile Legend sembari minum kopi dan makan ubi goreng, karena analisa mereka mental dengan sendirinya, mencoba eksis di minggu tenang dengan harapan mendapat panggung, cuma tong kosong nyaring bunyinya.

So guys, jangan nonton film ini mending kalian main PUBG atau Mobile Legend mabar dengan teman teman sambil ketawa ketiwi, hati riang dan lupakan niat menonton film ini, karena memancing emosi dan sumpah serapah ala penghuni kebun binatang yang akan muncul.

Akhirnya bill tagihan muncul didepan mata, sambil garuk kepala, niat awal mau main PUBG, namun muncul film ini yang katanya memojokkan presiden Jokowi dan pasangan Prabowo-Gibran mendidih hati ini, naik darah militer ini walau dulu kalah di penyisihan, akhirnya karena penasaran kuputuskan menonton film yang kata mulut-mulut biadab itu sedang trending, walau hati ini udah berkata jangan…Nasib- nasib…Telor ayam lah….

Hendra Nababan

Penulis adalah Ketua Relawan PRAGITA (Prabowo-Gibran Untuk Indonesia)