Foto : Erwin

Jakarta, Media Indonesia Raya – Pengungsi merupakan permasalahan serius pasca Perang Dunia II. Pertempuran paling besar di sejarah keberadaan manusia ini melahirkan sekitar 50 juta pengungsi yang tersebar ke seluruh penjuru Eropa dan kontinental sekitar, seperti Afrika sampai Suriah di Timur Tengah.
Namun ternyata, angka pengungsi saat ini sudah melebihi catatan masif 72 tahun lalu tersebut.
Menurut data yang dikeluarkan oleh United Nation High Commisioner for Refugee (UNHCR) pada Juni 2017 lalu, ada lebih dari 65,6 juta pengungsi di seluruh dunia. Untuk sekadar perbandingan, angka tersebut lebih banyak 5 juta dibanding populasi negara Italia keseluruhan.

Penelitian dari Jaqualine Lukman, Universitas Indonesia, yang berjudul Konstruksi Persepsi terhadap Pengungsi pasca Perang Dunia II (2013), dengan baik menunjukkan hal itu. Menurutnya, ada pergeseran paradigma cara negara-negara di dunia melihat keberadaan pengungsi.
Pengungsi dilihat tak lagi hanya sebagai korban, namun juga sebagai alat politik negara-negara adikuasa, hingga ancaman bagi negara-negara penerima.
Lebih jauh lagi, Jaqualine melihat bahwa pergeseran paradigma itu disebabkan perubahan situasi dan arsitektur internasional yang juga senantiasa berubah.

Untuk mengupas lebih jauh Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) dan Rumah Demokrasi Gelar Diskusi Publik dengan tema “Pengungsi Di Indonesia; Ancaman versus Kemanusiaan” di Hotel Whiz Cikini, Jl. Cikini Raya No.06, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11).

Hadir para Pembicara seperti:
1. Gading Gumilang Putra (Peneliti SUAKA)
2. Muhammad Zubair
3. Indah Pangestu Amaritasari (Pengamat dan Pengajar Kamnas Ubhara Jaya)
4. Adi Prayitno (Pengamat Politik)

Sebagai Moderator: Subairi Muzakki (Peneliti ID-Republikan)

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan sebuah peraturan presiden untuk menangani para pengungsi dan pencari suaka, yang sebelumnya tidak diatur dalam hukum negara. Peraturan Presiden itu dipuji sebagai langkah pertama, biarpun tidak lengkap yang menjanjikan bagi Indonesia, yang bukan salah satu penanda-tangan Konvensi PBB 1951 Tentang Status Pengungsi. Sedangkan peranan lembaga intelijen memang diperlukan dalam rangka memastikan para pengungsi tidak mengganggu keamanan negara.

“Saya yakin mereka sudah paham tentang tugas mereka untuk memastikan negara aman. Melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 tahun 2016 yang merupakan peraturan Presiden untuk mengatur pengungsi dan peminta suaka terurama dari negara-negara yang darurat perang, ekonomi, politik dan sebagainya,” kata Gading Gumilang Putra.

Secara hukum menurut Gilang status pengungsi itu jelas.

“Ada aturan berupa economic migrate untuk mendeteksi dan membedakan para pengungsi atau tenaga kerja yang berpura-pura jadi pengungsi. Kita khan punya Direktorat Imigrasi yang mampu mendeteksi orang luar yang masuk ke negara kita. Jika diketahui mereka itu bukan bagian dari pengungsi sebaiknya segera dieksteadisi ke negara asalnya. Disini peran pemerintah kita diperlukan dalam bentuk penegakan hukum,” papar Gading.

Indah Pangestu Amaritasari menyoroti tentang isu keamanan para pengungsi. Menurutnya hak asasi para pengungsi harus diperhatikan.

“Isu keamanan tidak hanya bicara tentang negara, melainkan bagaimana para pengungsi dan peminta suaka terjamin hak asasinya seperti memperolah pendidikan. Mereka para pengungsi bisa bersekolah dengan bebas dimana Pemerintah kita bertanggung jawab untuk itu,” kata Indah.(Erwin)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!