Foto: Istimewa

Jakarta, Media Indonesia Raya –Semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Prinsip aquality before the law persamaan di hadapan hukum tersebut selama 21 tahun belum dirasakan oleh keluarga korban Tragedi Semanggi I.

“Komnas HAM RI sudah menyelesaikan tahap penyelidikan sejak belasan tahun lalu, dan menyatakan Tragedi Semanggi I, Semanggi II, serta Tragedi Trisakti sebagai kasus Pelanggaran HAM Berat. Anehnya saat giliran Kejaksaan Agung RI, melanjutkan ke tahap penyidikan selalu saja mengembalikan berkas itu dengan bermacam dalih. Semua orang tahu, para saksi kasus ini masih ada sehingga penyidikan bisa digelar. Kawan-kawan kami adalah Warga Negara Indonesia yang harus diperlakukan sama di depan hukum dengan para anggota ABRI, dan Polri yang bertugas pada 13 November 1998 di seberang Kampus Unika Atmajaya Jakarta, tapi kenapa Pemerintah tidak segera memberikan keadilan, bahkan menyidik kasus ini pun tidak,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Syarikat 98 Hengki Irawan.

Negara Indonesia adalah Negara berdasar atas Hukum Rechtsstaat bukan berdasarkan atas Kekuasan belaka Machtsstaat. Berdasarkan penjelasan Konstitusi Republik Indonesia UUD 1945, sungguh penembakan 6 orang mahasiswa pelaku unjuk rasa dalam Peristiwa Semanggi I, tepatnya 21 tahun lalu tersebut telah mengakibatkan keenam orang mahasiswa tersebut kehilangan nyawa, dan beberapa warga tewas.

“Bila kasus ini digantung begitu saja, rakyat dan masyarakat dunia akan mempertanyakan tentang bukti bila Indonesia adalah negara hukum,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) DKI Jakarta Syarikat 98, Alex Leonardo Rumbi.

Alex adalah simpul Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) dari Unika Atmajaya Jakarta dalam aksi demonstrasi menolak Sidang Istimewa yang berujung penembakan aparat pada peristiwa berdarah itu.

“Keluarga Teddy Mardhani Kusuma (Institut Teknologi Indonesia), Bernardus Realino Norma Irmawan (Atma Jaya), Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia) selama 21 tahun menunggu keadilan dari Pemerintah. Tapi kenapa Kejaksaan Agung sebagai lembaga law enforcement penegak hukum menggantung kasus Pelanggaran HAM Berat TSS, Semanggi I, Semanggi II dengan berbagai alasan. Apakah nyawa warga negara memang sudah tidak ada perlindungannya di negara hukum ini?,” ujar Alex.

Bandul penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat Semanggi I, Semanggi II, maupun Trisakti selama belasan tahun berada di Kejaksaan Agung selaku lembaga penegak hukum. Status proses hukum yang berhenti pada tahap penyelidikan oleh Komnas HAM, dan belum juga dilanjutkan ke tahap penyidikan hingga penuntutan pelanggaran HAM Berat masa lalu oleh Jaksa Agung, menjadi pangkal persoalannya.

“Kasus penegakan hukum atas dugaan Kejahatan HAM oleh aparat keamanan dalam Tragedi Semanggi akan terus terkatung-katung bila Pemerintah tidak memiliki political will kemauan politik untuk menghadirkan keadilan bagi para keluarga korban,” ungkap Prio Utomo, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan DPN Syarikat 98.

Prio Utomo pun kemudian menegaskan, Kabinet Indonesia Maju perlu menunjukkan political will-nya dengan membuat progress penegakan hukum dari mulai membawa berkas penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan, sampai penuntutan.

“Bila terus mandek begini, legacy warisan hukum apa yang hendak negara ini wariskan kepada generasi mendatang? Hukum tajam ke bawah, dan tumpul ke atas, apakah itu yang mau diwariskan,” ungkap Hengki Irawan.

Untuk merealisasikan langkah-langkah penyidikan dan penuntutan Pro Justitia tersebut, DPN Syarikat 98 menyatakan sebagai berikut:

– Kejaksaan Agung Republik Indonesia perlu segera membawa kasus Pelanggaran HAM Berat Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti ke Komisi III (Hukum) DPR RI agar mencapai mufakat untuk dibawa ke Paripurna DPR RI dan Tragedi Berdarah tersebut dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM Berat, serta merekomendasikan Kepada Presiden Republik Indonesia untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

– Berdasarkan Rekomendasi DPR-RI tersebut, Presiden Republik Indonesia perlu segera menindaklanjutinya dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Dasar hukum pembentukan pengadilan khusus HAM tersebut adalah Undang-undang No. 26 Th. 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-undang tersebut disusun dan diundangkan sesuai ketentuan Bab IX Pasal 104, ayat (1) Undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Pengadilan Umum”.

– Presiden Republik Indonesia perlu menerbitkan Keppres Peradilan HAM Adhoc dalam rangka mendukung langkah Kejaksaan Agung untuk memproses kasus tersebut ke ranah Penyidikan dan Penuntutan. Berdasarkan Konstitusi, azas hukum Indonesia non retroaktif. Rekomendasi DPR RI, dan Keppres tersebut akan mengecualikan azas retroaktif tersebut untuk Pengadilan HAM Ad Hoc, meski kejahatan yang diadili sudah terjadi pada masa lalu sebelum Undang-undang No. 26 Tahun 2000 diundangkan.(Win) 

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!